วันอังคารที่ 2 กรกฎาคม พ.ศ. 2556

"Tanda-Tanda Husnul Khatimah"

Tanda-Tanda Husnul Khatimah
Oleh : A.Biara

Setiap yang bernyawa pasti akan tiba ajalnya (QS Ali-Imran [3]:185). Hanya saja waktu dan tempatnya adalah entah dimanai. Manusia tidak dapat mengetahui dan menetapkan jadwal kematian, karena ini adalah rencana dari Allah SWT.

Kematian pula bukanlah kejadian biasa, tapi ia adalah peristiwa besar yang menyakitkan yang ditandai dengan terputusnya hubungan antara roh dan jasad, perubahan situasi dan adanya peralihan dari suatu alam ke alam lain.

Kematian berlaku dengan cara yang beraneka ragam, secara umum dapat dibahagi kepada dua keadaan. Pertama, meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah (akhir hayat yang bagus).

Dan kedua, meninggal dunia dalam keadaan suul khatimah (akhir hayat yang buruk). Keadaan yang pertama menunjukkan suatu gambaran bahwa nasib yang akan dialami oleh si mayat setelah kematiannya akan bahagia.

Sebaliknya, keadaan yang kedua menggambarkan keburukan yang bakal dialaminya. Bagi orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah mempunyai tanda-tanda tertentu yang sepatutnya diketahui oleh setiap orang, terutama kalangan umat Islam.

Tanda-tanda tersebut, di antaranya sebagai berikut. Pertama, mengucapkan kalimat tauhid (syahadah). Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah SWT), maka ia masuk surga.” (HR Abu Dawud).

Kedua, dahi atau keningnya berpeluh. Sebuah riwayat dari Buraidah bin Hashib RA, dia berada di Khurasan. Lalu, saudaranya kembali kepadanya dalam keadaan sakit sehingga ia sempat menyaksikan kematiannya.

Saat saudaranya meninggal dunia, ia melihat peluhny keluar dari dahinya, dan berkata, “Allahu Akbar”. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Meninggalnya seorang Mukmin ditandai dengan berpeluh di dahinya.” (HR Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah).

Ketiga, meninggal dunia pada malam Jumat atau siang harinya. Tanda ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar RA. Dia mendengar bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau malamnya, melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah siksa kubur.” (HR Tirmizi).

Keempat, mati syahid. Ada lima macam mati syahid yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni disebabkan wabah (al-math’un), sakit perut ( al-mabthun), karam atau tenggelam (al-ghariq), tertimpa tanah runtuh (shahibul hadm), dan syahid dalam perang di jalan Allah. (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah di antara tanda-tanda meninggal dunia secara husnul khatimah yang disebutkan oleh nabi SAW. Mudah-mudahan kelak kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik), yakni golongan yang memperoleh hakikat kebahagiaan dan kemuliaan di sisi Allah SWT.

"Syariat Puasa Ramadhan"

Syariat Puasa Ramadhan
Oleh : A. Biara

Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi terdahulu.

Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan budayai puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka.

Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”

Pernyataan Daud AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).

Nabi Musa AS kemudian mewarisi budaya berpuasa. Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram yang dimaksudkan sebagai ungkapan shukur atas kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun.

Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi kerana hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih rapat dibandingkan dengan hubungan kesukuan.

Untuk membezakannya, Rasul SAW kemudian mensyariatkan puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membezakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan  kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Ibunda Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang berbeza dengan para pendahulunya, yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman, “Maka jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).

Keempat riwayat di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi rujukan  disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeza-beza.

Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh Rasul SAW menjadi puasa sunah.

Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184).

Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah. Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).

Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.

"Cara Rasulullah Sambut Ramadhan"

Cara Rasulullah Sambut Ramadhan
Oleh : A. Biara

Adalah Rasul SAW yang mempersiapkan dirinya menyambut kedatangan setiap bulan Ramadhan. Persiapan Rasul tersebut bukan hanya bersifat jasmani, melainkan paduan jasmani dan rohani mengingat puasa sebagaimana ibadah yang lain adalah paduan ibadah jasmani dan rohani.  Oleh sebab itu, ia disyariatkan paling akhir di antara ibadah wajib lainnya. Persiapan jasmani tersebut dilakukan oleh Rasul SAW melalui puasa Isnin-Kamis dan setiap bulan sejak bulan syawal hingga Sya’ban.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa puasa Isnin dan Kamis. Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau senantiasa puasa Isnin dan Kamis.”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada setiap hari Senen dan Kamis Allah SWT mengampuni dosa setiap Muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, ‘Tangguhkanlah keduanya sampai keduanya berdamai’.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam kaitannya dengan puasa tiga hari setiap bulan, Rasul SAW bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA, “Wahai Abu Dzar, jika engkau ingin berpuasa setiap bulan, maka puasalah tanggal 13,14 dan 15.” (HR. Tirmidzi).

Sedangkan persiapan rohani dilakukan oleh Rasul SAW melalui pembiasaan solat tahajud setiap malam serta zikir setiap waktu dan kesempatan. Bahkan, solat tahajud yang hukumnya sunah bagi kaum Muslimin menjadi wajib bagi pribadi Rasul SAW.

Diriwayatkan oleh Aisyah RA yang bertanya kepada Rasul SAW mengenai pembiasaan solat tahajud, padahal dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah SWT, Rasul SAW menjawab dengan kata-kata yang sangat indah, “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
Memasuki bulan Sya’ban, Rasul SAW meningkatkan ibadah puasa, qiyamul lail, zikir dan amal salehnya. Peningkatan tersebut dikeranakan semakin dekatnya bulan Ramadhan yang akan menjadi puncak aktifiti kesalehan oleh setiap orang Muslim.

Jika biasanya dalam sebulan Rasul SAW berpuasa rata-rata 11 hari, maka di bulan Sya’ban ini beliau berpuasa hampir sebulan penuh. Dikisahkan oleh Aisyah RA bahwasanya, “Rasulullah banyak berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kita mengatakan, beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat Usama bin Zayed RA dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak melihatmu banyak berpuasa seperti di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia, letaknya antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan tersebut amal manusia diangkat (ke langit) oleh Allah SWT dan aku menyukai pada saat amal diangkat aku dalam keadaan berpuasa’.” (HR. An-Nasa’i).

Sya’ban adalah bulan penutup rangkaian puasa sunah bagi Rasulullah SAW sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Jika Rasul telah mempersiapkan penyambutan Ramadhan dengan berpuasa minimal 11 hari di luar Sya’ban dan 20-an hari di bulan Sya’ban, berarti untuk menyambut Ramadhan Rasulullah SAW telah berpuasa paling sedikitnya 130 hari atau sepertiga lebih dari jumlah hari dalam setahun.

Maka, hanya persiapan yang baiklah yang akan mendapat hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri di bulan Sya’ban sehingga memperoleh hasil yang maksimal di akhir Ramadhan.

PETIKAN HIKMAH ISRA’ DAN MI`RAJ

PETIKAN HIKMAH ISRA DAN MI`RAJ
Oleh :  A. Biara
Pada  27 Rajab umat Islam memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Salah satu mukjizat Nabi SAW berupa perjalanan malam hari dari Masjid Haram ( Makkah) ke Masjid Aqsha (Palestina) dilanjutkan dengan “naik” ke Sidratul Muntaha menghadap Allah SWT. Dalam Alquran, peristiwa itu disebutkan dalam dua ayat.
Peristiwa Isra’ disebutkan dalam QS. Isra: 1, ‘‘Mahasuci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada waktu sebagian dari malam hari dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsha yang telah Kami beri berkah sekelilingnya agar Kami dapat menunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami…”
Sedangkan peristiwa Mi’raj disebutkan dalam QS. An-Najm: 13-18: ”Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muhtaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.’‘
Tujuan Isra Mi’raj adalah untuk memperlihatkan sebahagian bukti atau tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT (QS. 17:1) serta untuk menguji keimanan manusia (QS. 17:60).
Di kalangan ulama muncul pendapat, tujuan Isra’ Mi’raj adalah lit-tatsbit (untuk memantapkan atau mengukuhkan Nabi SAW dalam kedudukan kenabian dan kerasulannya), lit-takrim (untuk memuliakan Nabi SAW sebagai makhluk pilihan Allah SWT), dan listi’dalil quwah (untuk mempersiapkan keknatan jasmaniah, ruhaniah, dan aqliah Nabi SAW dalam menjalankan tugas-tugas kenabian dan kerasulannya).
Sebelum Isra’ Mi’raj, keadaan dan kedudukan  Nabi SAW sangat memprihatinkan kerana wafatnya paman beliau, Abu Thalib, dan istri beliau, Siti Khadijah. Padahal, keduanya merupakan pelindung dan pendukung utama Nabi SAW dalam mengemban risalah Islam. Dengan Isra’ Mi’raj, keimanan atau kekuatan ruhaniah beliau bertambah kuat. Keganasan, dan kekerasan umat yang didakwahnya dihadapi dengan kesabaran yang luar biasa, kerana yakin akan perlindungan Allah SWT dan kebenaran risalah yang dibawanya.
Petikan hikmah
Pertama, diriwayatkan, sebelum Isra Mi’raj, Nabi SAW “dibedah” oleh malaikat untuk membersihkan jiwanya dari sifat-sifat buruk. Itu menunjukkan, sebelum menghadap Allah SWT untuk menjalankan ibadah, kita harus membersihkan dulu jiwa-raga kita, niat-hati dan jasmani, dari segala kotoran atau najis, dari niat yang tidak ikhlas, dan dari pemahaman-pemahaman yang sesat. Ibadah akan tidak sah bila niat kita tidak ikhlas, dinodai bid’ah atau tidakdidasari ilmu (QS. Al-Bayyinah: 5, Al-Hajj: 37, Al-Isra: 36 & 84, Al-Ma’un: 6).
Kedua, ketika Abu Thalib dan Siti Khadijah meninggal dunia, Nabi SAW merasa sedih luar biasa, sehingga tahun itu dinamakan Amul Hazn (Tahun Kesedihan). Itu menunjukkan, dalam berdakwah orang perlu pelindung, pendukung. Siti Khadijah merupakan simbol seorang istri atau wanita yang menunjang perjuangan suami dalam berdakwah.
Ketiga, salah satu tempat yang terkait dengan Isra’ Mi’raj adalah Masjid Aqsha. Setidaknya, peringatan Isra’ Mi’raj kali ini dapat kita bangkitnya semangat kepedulian terhadap nasib Al-Aqsha dan Muslim Palestin.
Keempat,  dan merupakan yang terpenting dalam peristiwa ini ialah .solat. Solat adalah satu-satunya kewajiban dan menjadi kebutuhan umat Islam yang amar-nya diturunkan langsung oleh Allah SWT. Hal itu menunjukkan betapa tingginya kedudukan ibadah solah. Wajar, kalau kemudian solat, sebagaimana tersebut dalam sejumlah hadis Nabi SAW, merupakan “tiang agama”, akan runtuh keislaman seseorang jika meninggalkan atau tidak mendirikan solat. Sebab, solat merupakan penentu diterima-tidaknya amal saleh seseorang serta menjadi ibadah paling utama dalam Islam. Solat juga merupakan amal perbuatan yang pertama kali dihisab di akhirat dan menentukan baik-buruknya amal seseorang.
Solat merupakan ibadah yang tidak boleh ditinggalkan, pembeza antara umat Islam dan kafirin, penentu kebaikan dan keburukan amal seseorang (QS. 29: 45, 70: 19-23), dan merupakan cermin akidah Islam (tauhid).
Pada bulan Rajab, khususnya peringatan Isra’ Mi’raj, seharusnya kita bermuhasabah solat kita selama ini: sudahkah dilaksanakan sesuai sunnah Rasul? Sudah pahamkah kita akan makna bacaan dan gerakan solat? Sudah khusyukah solat kita selama ini
Selain itu, dalam Alquran setidaknya disebutkan tiga golongan mushali atau orang yang solat. Yaitu, : khasyi’un, sahun, dan yuraun. Cubalah Kita usaha diri kita, termasuk kelompok manakah kita?
Golongan khasyi’un (adalah mereka yang mendirikan solat dengan sungguh-sungguh (khusyu’), mengetahui  cara dan rukun solat, ikhlas dalam mendirikannya, menjadikan solat sebagai kebutuhan, serta mengamalkan apa yang diucapkannya dalam shalat dalam kehidupan sehari-hari. Kerananya, solat golongan ini berpengaruh terhadap perilakunya, yaitu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (QS. 29: 45).
Golongan sahun (QS. 107:5) adalah mereka yang melakukan solat dengan lalai, sering (atau sengaja) lupa kerana tidak merasakannya sebagai kebutuhan, dan menganggap solat sebagai beban.
Sedangkan golongan yuraa’un (QS. 107: 6) adalah mereka yang melakukan solat dengan niat yang tidak ikhlas, ibadah solatnya ternodai perasaan atau keinginan dipuji atau dilihat orang lain. Justeru itu, dalam satu ayat qur’an Allah berfirman “ Neraka waill bagi mereka yang bersolah”. Semoga amalan solat kita terjauh dari hal-hal ini.